Kebijakan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru di Indonesia telah dipromosikan sebagai langkah maju menuju kesetaraan pendidikan. Namun, dari sudut pandang kritis, kebijakan ini sebenarnya mungkin lebih merupakan kemunduran pendidikan, mengurangi motivasi siswa untuk meraih prestasi, dan membatasi eksplorasi pendidikan mereka ke lingkungan yang lebih luas.

Maka tidak berlebihan rasanya, jika muncul anggapan bahwa zonasi bisa jadi berkedok kesetaraan tetapi pada hakikatnya menghambat pertumbuhan intelektual dan sosial siswa.

Zonasi didesain dengan asumsi bahwa mendekatkan siswa ke sekolah terdekat akan memudahkan logistik dan mengurangi ketimpangan sosial-ekonomi. Namun, kenyataannya, kebijakan ini justru seringkali mengkristalkan perbedaan yang ada. Siswa dengan akses ke zona sekolah berkualitas tinggi secara otomatis mendapatkan keuntungan, sedangkan mereka di area kurang mampu atau zona terbelakang terjebak dalam siklus pendidikan yang stagnan.

Lebih jauh lagi, sistem ini mengurangi dorongan bagi siswa untuk berprestasi tinggi. Dengan menjamin tempat (diterima) di sekolah berdasarkan kedekatan geografis, siswa sangat rawan mengalami demotivasi atau kurang berusaha keras dan berkompetisi untuk masuk ke sekolah yang lebih kompetitif. Ini berarti bahwa potensi individu tidak tergali sepenuhnya, dan secara keseluruhan, bisa menurunkan standar pendidikan karena kurangnya dorongan untuk berkembang.

Sistem zonasi juga secara signifikan juga membatasi peluang siswa untuk mengalami dan belajar dari lingkungan yang berbeda. Terdapat narasi terkait perintah menuntut ilmu di negeri yang jauh (China) seolah menekankan pentingnya mengembangkan pandangan global dan mengalami keanekaragaman budaya, sesuatu yang secara inheren dibatasi oleh zonasi. Pembatasan geografis ini bukan hanya fisik tetapi juga intelektual, membatasi siswa pada lingkungan yang homogen dan mempersempit pandangan dunia mereka.

Saya berpandangan bahwa sistem zonasi harus direvisi atau bahkan dirombak untuk benar-benar menciptakan kesetaraan pendidikan yang bermakna. Kebijakan ini perlu melampaui sekedar alokasi geografis dan mencakup upaya substantif untuk meningkatkan standar di semua sekolah, memastikan bahwa setiap siswa, terlepas dari domisili, memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai potensi penuh mereka. Tanpa perubahan ini, sistem zonasi akan terus menjadi simbol kesetaraan yang belum terwujud, dan bukan realitas pendidikan di Indonesia.

Penulis: Abdul Rozak Ali Maftuhin, S.Pd
Mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam UMM

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan