Sebagai seorang pemerhati pendidikan, saya telah lama tertarik dan memperdalam konsep tazkiyatun nafs dalam khazanah keilmuan Islam. Hal mana secara sederhana konsep ini merujuk pada proses penyucian jiwa dan peningkatan spiritualitas individu. Menurut saya, konsep ini tidak hanya relevan dalam konteks ibadah, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari sebagai pedoman untuk menjaga kesucian hati dan pikiran.

Tazkiyatun nafs mengajarkan pentingnya untuk terus-menerus melakukan introspeksi diri, mengidentifikasi kelemahan, dan memperbaiki diri secara berkelanjutan. Sebagaimana disampaikan oleh Imam Al-Ghazali, “Pembersihan jiwa adalah kunci untuk mencapai kedekatan dengan Allah.” Pemikiran ini menegaskan bahwa dengan membersihkan dan menyucikan jiwa, seseorang dapat mencapai kehidupan yang lebih bermakna dan berkah.

Dalam pemahaman sebaliknya, tatkala seseorang kerap dihampiri masalah dan pelik dalam hidupnya, ada indikasi kurangnya proses penyucian jiwa yang dijalankan secara konsisten. Bukankah ketika noda hitam keburukan yang menyelimuti diri, memang akan berdampak tidak baik?

Dalam praktiknya, saya berpandangan bahwa tazkiyatun nafs mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, mulai dari interaksi sosial hingga pengelolaan emosi. Misalnya, saat menghadapi tantangan atau konflik, prinsip ini mengajarkan saya untuk tidak hanya mengevaluasi tindakan luar, tetapi juga respons emosional dan spiritual saya terhadap situasi tersebut.

Salah satu cara praktis untuk menerapkan konsep ini adalah dengan menjaga shalat dan dzikir sebagai sarana untuk membersihkan hati dan pikiran dari pengaruh negatif. Seperti yang dikatakan oleh Ibn Al-Qayyim, “Shalat adalah tiang agama, dan dzikir adalah pakaian bagi jiwa.” Dengan konsistensi dalam ibadah ini, kita bisa membuktikan dan merasakan dampak positifnya dalam menjaga ketenangan batin dan meningkatkan kualitas hubungan dengan orang lain.

Tazkiyatun nafs juga mengajarkan setiap kita yang ingin menggapai ketentraman untuk senantiasa berupaya memperbaiki karakter dan moralitas. Misalnya, dengan memperbanyak sedekah dan menolong sesama, saya dapat merasakan kepuasan batin dan menguatkan ikatan sosial di sekitar kita. Dengan demikian, konsep ini tidak sekadar berhenti pada dimensi spiritual, tetapi juga mendorong kita semua untuk bertindak baik secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Jika kita tarik dalam praktik kehidupan sosial kemasyarakatan, tangan di atas justru menjadi faktor terhebat untuk menggapai kebahagiaan. Silahkan bertanya pada pribadi masing-masing, manakah yang lebih membahagiakan antara mendapatkan bantuan dengan dimampukannya kita oleh Allah dalam membantu orang lain?

Secara keseluruhan, konsep tazkiyatun nafs adalah sebuah perjalanan panjang dan terus-menerus untuk memperbaiki diri, yang memiliki implikasi mendalam dalam setiap aspek kehidupan. Dengan berpegang teguh pada nilai-nilai yang diajarkan oleh Islam, yakinlah bahwa proses ini akan membimbing kita menuju kesempurnaan spiritual dan harmoni dengan lingkungan sekitar.

Penulis: Abdul Rozak Ali Maftuhin, S.Pd
Mahasiswa Program Magister Pendidikan Agama Islam PAI

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan